Postingan

Lahir.

Hari ke lima, pagi itu. Dia diam duduk membuat jampi-jampi. Ada yang terkoyak dalam diriku. Berdarah. Pasrah. Dingin diantara setengah nafas yang tersisa. Aku mendengarnya terisak,  Perempuan paruh baya yang tak berhenti berdoa. Aku masih kaku. beku. Hari ke lima, pagi itu. Matahari belum mau naik. Pelan-pelan aku berbisik, "Ibu, maafkan aku.." Tangannya kuat mengerat. Jemariku penuh. Dia mengangguk, mengusap kepalaku. Di matanya hanya sepi. Ada getir yang ditahannya dari pipi. Dari hati. Pujian kepada Tuhan terus berdesir di telinga. Baris air mata tak henti jatuh entah keberapa Seorang dokter terus menjahit jalan lahir dengan seksama Aku kira dia pasti menopang ribuan pahala di dadanya karena hanya terpikir menyelamatkan ribuan nyawa. Kita bertiga telah sah jadi ibu bagi waktu. bagi keadaan yang tak selalu memberi tahu, bagi perempuan yang juga lahir dari rahimku. - Yogyakarta, 10 Februari 2017 Pertemuan pertama dengan Shabria. di ruang dingin tanpa nama.

Kelu.

Kita bukan lagi kawan. Puan menangisi malam ditemani daun-daun bambu yang kelu. Setengah mati setengah hidup. Bukan tak ingin, tapi menyerah serasa lebih mudah. Pilih saja tempatmu yang nyaman. Biarkan aku pulang supaya bisa tidur panjang. Payah payah aku berdiri Dijatuhkan dengan satu kaki Cacat sedari dini, Tak sadar diri. Kelok hatimu buntu. Enggan bangun dari mimpi kosong, yang tak dibuat untuk siapapun. Jemariku geram. Mengetik kutuk yang tak pernah kusampaikan. Perihal apa? Hidupku di kepalamu, yang tak ada tanda apa-apa di sana. Alpa.

Lirih

Di pelupukmu ada rindu Kubiarkan deru menjemputnya Tanpa suara Aku tahu Kita tak perlu membicarakannya lagi Meski kita belum selesai Tapi kubiarkan senja menyurut sendiri Membawa segala tentangmu di akhir sore ini Tak ada pamit yang tak sakit Segala cara kulakukan agar segera bangkit Dan Berpura-pura bahwa sesak dalam dadaku Telah hilang lebih cepat daripada rotasi waktu Maka Kau kulepaskan dengan penuh kerelaan Karena menderamu adalah sebuah kesalahan Yogya, 2018

Lelaki di Lorong Sunyi

Kepada ‘Bapak’ Mataku basah. Seperti gerimis yang mengumpul pada jeruji jendela tua rumah kita. Aku menunggumu terbangun. Di kursi. Setiap pagi. . Tapi kau tak ada. . Aku kira kau ke pasar. Membeli beras atau sabun cuci. Dari ujung lorong kucermati. Kau tak juga kembali. Sampai sore. . Tapi biar kutunggu sebentar lagi. . Aku hanya ingin berterimakasih padamu, karena telah sabar bersamaku. Menua. Lalu menimang cucu. Aku memang dingin dan payah. Tapi darimu aku belajar, untuk tidak menyerah walau bersusah-susah. . Berhari-hari aku tak mendengar lagi denyit keramik dari langkah kakimu yang kecil. Kursi di sebelahku tak lagi ditempati. Melapuk kulitnya. Aus karena jutaan hari ada kenanganmu di sini. . Pendengaranku melemah. Mungkin karena itu candamu tak lagi bisa kudengar. Kadang aku tak tertawa. Hampa.  . Aku sendirian di ruang makan. Mencari waktu agar kita bisa kembali bertemu. Mungkin tak hari ini. Tapi esok pagi aku kan menunggu lagi, di sini. D

Perempuan Pukul Tiga

Aku menghapal ratusan mendung yang pernah singgah. Pergi dengan warisan duka. Luka. Luka. Kutambal, yang lain menganga. Lupa. Pada siapa? Aku ingin memaafkan setiap air mata yang jatuh. Tapi rasanya sulit. Aku berpenyakit. Tak lagi bala dan sesal bisa kutampik. Kata. Sabda. Hanya mengalir di telinga. Satu per satu akan pergi pada masanya. Sunyi. Sendiri. Tapi perpisahan tak selamanya menyakiti. - Bekasi 2018

Senja Tanpa Cahaya

Aku ingin bertemu denganmu lagi. Di ruang yang satu per satu sengaja kita kosongi. Di matamu yang dulu. Di pelukmu yang dulu. . Detik-detik penghujung usia kuhabiskan untuk mengalah, meski egomu selalu membuncah. Kelak, mataku tak lagi bisa melihatmu. Tapi mencintaimu adalah kata yang kupatri jauh sebelum aku dibenci. . Berwaktu-waktu hatiku juga sudah banyak patah. Kurekatkan selalu, sebisanya. Di sampingmu adalah keputusan, bukan pilihan. Maka tersenyumlah lagi diantara tatap kita yang kini kerap bersitegang. . Aku hanya ingin dibuatkan segelas kopi. Dari tanganmu. Ditambah sedikit canda dan dendangmu di dapur. Mengingat-ingat masa muda kita yang –mungkin saja- jadi pelipur. . Aku tak ingin membiarkanmu sendirian, tapi merengkuh bahumu saja aku tak punya keberanian. Tua mugkin telah membuat kita lupa, bahwa darah dan daging tak punya wujud yang sempurna. Dan jauh di dalam sana, tak ku duga hatimu telah sekarat penuh luka. . Maka maafkanlah aku yang hina. . L

Di Wedi Ombo

Gambar
Untuk Biya, anakku, Untuk Tiket.com, sarana menjelajah yang memudahkan setiap orang ( Tiket.com), Dan untuk kalian yang memaknai kehidupan lewat perjalanan. - Satu-satunya kemewahan yang bisa kuwariskan kepadamu, anakku, adalah bersyukur atas segala karya luar biasa Tuhan yang menenangkan hati kita. Hidup mungkin tak melulu tentang mengejar kesuksesan materi, tapi maknailah segala kegagalan sebagai perjalanan yang kan membawamu pada rasa baru bernama bahagia: sederhana. Aku selalu ingin memberitahumu tentang kota ini, Biya. Jogja. Kaki-kaki kecilmu kutuntun mengenal semua. Tentang segala harta yang masih diendapnya. Ombak. Pasir. Deru angin. Laguna. Batu-batu. Satu-satu kamu kan tahu. Nikmati saja sebagai pengganti senyum kakek nenek yang tak bisa kita temui setiap hari. Belajarlah dari sini. Dari alam yang memberikan banyak arti. Berlakulah dengan pekerti. Di situ kamu kan temukan surga yang tersembunyi. Seperti tempat ini, kukenalkan kamu dengannya, Wedi