Cinta Di Balik Layar
"Gue kira itu Cuma ada di sinetron, mil.."
"Ga ras. Dulu juga gue mikir gitu. Tapi ternyata ini gue alamin sendiri. Ih gila ya.. gue juga ga mau kaya gini . menurut lo gue salah ga?.."
"Mm tergantung, mil. Diliat dari segi mananya dulu.."
"Sumpah ya, kalo gue boleh milih, gue gak mau kaya gini.."
"Karena itu gue bilang tergantung. Kalo diliat dari sisi lo sebagai….." aku bingung memprediksikan dia sebagai apa.
"orang ketiga..?"
"orang ketiga..?"
"Ya, begitulah. Itu sangat salah mil.. tapi kalo dari sisi perasaan, lo berdua punya rasa yang sama. Gak ada yang salah sama perasaan. Toh kalian sepakat menjaga itu tujuh bulan ini."
Aku diam. Dia diam. Ada selapis kaca dimatanya. Aku tau dia sedang merasakan cinta yang dalam. Tapi saat ini sedang kehilangan. Dia menarik napas, tapi tetap menggendong tas kameraku.
"Gue gak pernah ngerasa kangen separah ini. Padahal gue udah satu setengah tahun jalan sama Adya. Tapi gak sampe begini kangennya kaya ke Jave.."
Aku ingin tertawa melihatmu tersipu mengingat sebagian dari 7 bulan ‘indah’mu itu. Seorang atasan beristri, beranak satu, jatuh cinta tanpa alasan kepada bawahannya yang sudah bertunangan. Tuhan memang penuh dengan kejutan.
"Orang-orang di tempat kerja gue ada yang ngenggep gue deket sama Jave Cuma karena gue mau morotin duit dia. Kalo gue mau, tas-tas yang ada di grand Indonesia bisa gue minta, atau sekalian gue minta dibeliin BB. Tapi sepeser pun gue ga minta dari dia. Ngga.. gue udah cukup seneng dia punya perasaan yang sama dengan yang gue rasa. Dia yang dikenal dingin, disegenin di kantor, ternyata hangat banget.."
Matanya menerawang diantara jendela-jendela apartemen yang tirainya belum tertutup.
Emily, aku pernah merasakan itu. rasa dimana kita begitu ikhlas mengorbankan harga diri demi orang yang kita cintai. tapi semuanya kini pergi.
"sejak awal gue ga berniat buat milikin dia, Ras. ga ada niat buat ngerusak hubungan dia dan istrinya. tapi semua perasaan ini mengalir begitu aja.."
Dia sedikit menunduk. memainkan matanya ke lantai, ke awan yang hitam, ke pepohonan, ke tukang parkir di lantah bawah. entah sudah sejak kapan kita senang berbincang disini. di sisi gedung perbelanjaan yang masih sepi ini. tak ada yang peduli apa yang kita perbincangkan. atau malah kita kadang tak berbincang. kita hanya mendengar Jakarta. mendengar gedung-gedung yang menjadi latar belakang kita berdiri berlomba-lomba bermandi cahaya. Shangrila, gedung pena, apartemen kembar, dan cinta yang mulai kita relakan kepergiannya.
"trus, kapan lo terakhir berhubungan sama dia?" pecahku.
"dua minggu lalu. kalo dia lewat, gue cuma bisa sms, sekedar tanya, mau kemana..atau ada kegiatan apa.. trus dia cuma bales seadanya. detambah senyum. itu aja.." dia menarik napas lagi.
"gue tau, dia pasti jauh lebih memilih istrinya yang udah berorban banyak daripada gue.. gue juga gak berharap lebih. gue tau gue salah. tapi gue ga nyangka aja.." dia tersenyum, lalu mengecek hp nya.
"Adya sms gue nih. bentar ya.."
Ya, Emily. kita adalah wanita-wanita yang kalah di hati lelaki-lelaki yang kita cintai. aku pernah jatuh, bahkan terinjak-injak di antara cinta yang aku temui. tapi aku tak peduli. aku merasa sedikit mati.
"eh, daritadi gue mulu yang cerita.. elo dong, Ras!!" dia menyenggol bahuku.
"hahaha..gak ada yang perlu diceritain, Mil.." aku enggan.
Karena hasilnya akan sama saja :
Kita tak dipilih..
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Based On True Story.
Big thanks to 'Emily', who was shared her story and allow me to write it in this blog. Thx to Jakarta, Thx buat perbincangannya. Thx juga es krim vanilanya :)
Komentar
Posting Komentar