Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Lelaki di Lorong Sunyi

Kepada ‘Bapak’ Mataku basah. Seperti gerimis yang mengumpul pada jeruji jendela tua rumah kita. Aku menunggumu terbangun. Di kursi. Setiap pagi. . Tapi kau tak ada. . Aku kira kau ke pasar. Membeli beras atau sabun cuci. Dari ujung lorong kucermati. Kau tak juga kembali. Sampai sore. . Tapi biar kutunggu sebentar lagi. . Aku hanya ingin berterimakasih padamu, karena telah sabar bersamaku. Menua. Lalu menimang cucu. Aku memang dingin dan payah. Tapi darimu aku belajar, untuk tidak menyerah walau bersusah-susah. . Berhari-hari aku tak mendengar lagi denyit keramik dari langkah kakimu yang kecil. Kursi di sebelahku tak lagi ditempati. Melapuk kulitnya. Aus karena jutaan hari ada kenanganmu di sini. . Pendengaranku melemah. Mungkin karena itu candamu tak lagi bisa kudengar. Kadang aku tak tertawa. Hampa.  . Aku sendirian di ruang makan. Mencari waktu agar kita bisa kembali bertemu. Mungkin tak hari ini. Tapi esok pagi aku kan menunggu lagi, di sini. D

Perempuan Pukul Tiga

Aku menghapal ratusan mendung yang pernah singgah. Pergi dengan warisan duka. Luka. Luka. Kutambal, yang lain menganga. Lupa. Pada siapa? Aku ingin memaafkan setiap air mata yang jatuh. Tapi rasanya sulit. Aku berpenyakit. Tak lagi bala dan sesal bisa kutampik. Kata. Sabda. Hanya mengalir di telinga. Satu per satu akan pergi pada masanya. Sunyi. Sendiri. Tapi perpisahan tak selamanya menyakiti. - Bekasi 2018