Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2016

Perawan

Untuk Bundo Setelah ini tak akan ada lagi drama. Semua kupastikan sirna. Ingatkan ini nanti, kelak aku akan menagihnya dalam hati. Aku mungkin akan meminta maaf, perihal lupa, perihal salah dimana pijakanku lama terbenam. Sendiri aku besar, setiap hitam pernah kukenakan. Tapi siapa yang ingin mati dengan rasa khilaf yang tak bisa diobati? Aku rasa tak ada. Kecuali pesakitan yang tak lagi punya harapan. Aku ingin mereka tau aku berbeda. Sedikit egois, banyak candanya. Sejuta teman, banyak cacatnya. Tapi pasti ada dia di sana yang akan menjadi lentera. Tentang sebuah penerimaan yang tak bisa biasa saja. Selain Ibu yang memaklumi segala buruk ku, yang menyediakan ruang untukku berketurunan.  Aku percaya Tuhan Maha Memaafkan, soal keyakinanku sebagai perawan, soal banyak bedak dan gincu yang kusimpan. Begitupun soal kamu yang sedari tadi mendengarkan.  Aku tau kamu akan menjaga, karena itu aku percaya. 

Memakna Kontemporer

"..di Indonesia, kita mudah menyerah sebab tak betah bersusah payah untuk memahami sesuatu yang baru.."  - Sal Murgiyanto Kesulitan penerimaan masyarakat terhadap seni kontemporer bersumber pada ketidakinginterbukaan mereka terhadap pintu wawasan yang baru. Perihal kontemporer dianggap lebih mudah diterima oleh mereka yang cukup berpendidikan dan mau 'menelan' apa saja yang disajikan juga berani mengkritik. Masyarakat perkotaan misalnya, Sal mencontohkan. Saya menilik ke dalam diri sendiri, sebagai produser dan pengelola, Sal menasehati, bahwa kita harus pandai melihat pasar, dan memilah penikmat seni yang seperti apa yang akan mampu mencerna makna kontemporer yang dihadirkan dan bagaimana diinterpretasikan tanpa salah sasaran. Lebih jauh lagi, kita harus mahir menempatkan mana seni yang -hanya- ingin dinikmati, dan mana seni yang perlu disajikan ke hadapan masyarakat plural saat ini. Perlu disadari, bahwa target utama dari seni kontemporer itu adalah adanya