Lelaki di Lorong Sunyi

Kepada ‘Bapak’

Mataku basah. Seperti gerimis yang mengumpul pada jeruji jendela tua rumah kita.
Aku menunggumu terbangun. Di kursi. Setiap pagi.
.
Tapi kau tak ada.
.
Aku kira kau ke pasar. Membeli beras atau sabun cuci. Dari ujung lorong kucermati.
Kau tak juga kembali. Sampai sore.
.
Tapi biar kutunggu sebentar lagi.
.
Aku hanya ingin berterimakasih padamu, karena telah sabar bersamaku. Menua. Lalu menimang cucu. Aku memang dingin dan payah. Tapi darimu aku belajar, untuk tidak menyerah walau bersusah-susah.
.
Berhari-hari aku tak mendengar lagi denyit keramik dari langkah kakimu yang kecil. Kursi di sebelahku tak lagi ditempati. Melapuk kulitnya. Aus karena jutaan hari ada kenanganmu di sini.
.
Pendengaranku melemah. Mungkin karena itu candamu tak lagi bisa kudengar.
Kadang aku tak tertawa. Hampa. 
.
Aku sendirian di ruang makan. Mencari waktu agar kita bisa kembali bertemu. Mungkin tak hari ini. Tapi esok pagi aku kan menunggu lagi, di sini. Di ujung lorong yang sunyi.

-
In Memoriam, Bu Tati.
Tanah Abang 2018

Komentar