Tentang Kegelisahan
Tentu ini bukan mimpi yang biasa saja.
Atau mungkin bisa
biasa saja, tapi ini satu satunya mimpi –seingatku- yang mencampuradukkan
pikiran gelisah dan rasa senang yang tak pernah kurasakan sebelumnya...
Siang itu aku ada di suatu kota, yang kutau itu adalah
pelataran menara tertinggi di kota Mekkah. Aku berjalan jalan di kota.
Menemukan temanku sedang bercanda, dan orang-orang lain yang tak ku kenal. Tapi
aku dalam keadaan yang amat sangat buruk dan kotor. Dadaku luka, perih, ketika
aku berkaca ada sejumlah baret yang sangat tak enak dipandang mata. Aku memakai
baju dengan potongan dada yang rendah. Tanpa jilbab sebagaimana hari-hari
biasa. Aku berkaca, ada luka merah dan hitam yang mengering membuatku jijik
dengan diriku sendiri.
Malu, aku pergi meninggalkan tempat itu ke taman kota.
Tiba-tiba aku mendengar suara tembakan dari arah kanan, seseorang membawa
senapan laras panjang dengan pakaian tuxedo. Aku terbengong dengan rasa takut.
Orang-orang berlarian kocar kacir. Ada tembakan susulan, di arah depan ada
sosok yang sama. Semua tiba- tiba terlihat kacau. Aku berlari, mencari ibuku.
Tapi sosok hitam itu ada di berbagai penjuru. Bukan menembakkan peluru, tapi
gas yang menyesakkan dada , aku tersungkur, menahan nafas sebisaku. Menangis
sambil terus merangkak. Memikirkan nasip ibuku. Entah mengapa saat itu ibu yang
terpikir olehku.
Aku berusaha sekuat tenaga menguatkan diriku, menyemangati
bahwa aku akan sampai ke sana: tempat ibuku. Sambil terus kudengar dentuman
menyeramkan itu datang, tak berhenti. Banyak yang tumbang, banyak yang
berteriak, ketakutan. Saat itu, aku berfikir bahwa ini adalah akhir kehidupan
di dunia. Aku menyerah.
Pelan-pelan aku sampai lagi di menara tinggi tadi. Semua
terlihat silau dan putih. Cerah seperti matahari di Mekkah. Di muka hotel
tempat ibuku terdiam, aku melihat beberapa bis besar terparkir, lalu di
sekitarnya ada orang-orang arab yang tinggi, memakai gamis putih dan jubah di
kepalanya. Mereka diam, mempersiapkan sesuatu. Pintu bis terbuka, aku melongok
sebisanya, tak peduli dengan bagaimana tampilanku saat itu. Tiba tiba ada
sebuah suara yang menyeruku,
“Jangan takut, dia telah datang, dia yang
akan memenangkan..” Aku bertanya “Siapa?” sambil terus mencari sosok yang
dibicarakan. “Dia, Muhammad.”
Aku terdiam. Aku bisa mendengar suara lain dari dalam hatiku,
“Benarkah? Seseorang yang juga memiliki
nama Muhammad, atau..”
“Tidak, dia memang telah datang, Muhammad Bin Abdullah. Kamu
Pasti tau. Kami yang menyiapkan kedatangannya. Kita akan menang...” jawabnya.
Aku terdiam. Kebingungan. Sedang orang-orang terlihat sibuk.
Aku tambah takut, bagaimana bisa aku menemui dia dengan keadaan seperti ini,
dengan tanpa jilbab, dengan dadaku yang rusak, penuh luka, yang aku pun sendiri
jijik melihatnya.
Aku berlari di tangga mencari ibuku, ingin kukabarkan bahwa dia telah datang dan ibuku tak perlu lagi khawatir. Aku terus berlari, semua orang telah
berganti baju dengan pakaian putih yang bersih, dengan jubah seperti orang-orang di
bawah. Aku berteriak antusias bahwa dia, Muhammad Bin Abdullah telah
sampai. Telah hadir, bahwa kita tak perlu lagi takut.
Tapi aku tertegun.
Ibuku
tak ada lagi di sana.
Komentar
Posting Komentar