Senja Tanpa Cahaya
Aku ingin bertemu denganmu lagi. Di
ruang yang satu per satu sengaja kita kosongi. Di matamu yang dulu. Di pelukmu
yang dulu.
.
Detik-detik penghujung usia
kuhabiskan untuk mengalah, meski egomu selalu membuncah. Kelak, mataku tak lagi
bisa melihatmu. Tapi mencintaimu adalah kata yang kupatri jauh sebelum aku dibenci.
.
Berwaktu-waktu hatiku
juga sudah banyak patah. Kurekatkan selalu, sebisanya. Di sampingmu adalah keputusan,
bukan pilihan. Maka tersenyumlah lagi diantara tatap kita yang kini kerap bersitegang.
.
Aku hanya ingin dibuatkan segelas
kopi. Dari tanganmu. Ditambah sedikit canda dan dendangmu di dapur. Mengingat-ingat
masa muda kita yang –mungkin saja- jadi pelipur.
.
Aku tak ingin membiarkanmu
sendirian, tapi merengkuh bahumu saja aku tak punya keberanian. Tua mugkin telah
membuat kita lupa, bahwa darah dan daging tak punya wujud yang sempurna. Dan jauh
di dalam sana, tak ku duga hatimu telah sekarat penuh luka.
.
Maka maafkanlah aku yang hina.
.
Lalu beranjaklah ke sini. Ke tempat
biasa kita menikmati sepoy angin sore. Di dekat tamanmu. Di dekat genggamku. Agar
kamu bisa merasakan, degup nadiku masih sama seperti saat kita berjanji, akan
selalu mendampingi. Sampai raga kita tak bernyawa lagi.
Komentar
Posting Komentar